Maraknya Aroma KKN, Pemerintah Tanggamus Diterpa Gelombang Aksi Demonstrasi

Tanggamus, Rakyat45.com – Gelombang protes dari elemen masyarakat di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, semakin menggema dalam beberapa pekan terakhir. Isu yang menjadi pemicu adalah dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menyeret nama pejabat tinggi daerah, Ir. Suaidi, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Tanggamus.

Aksi unjuk rasa terbaru berlangsung Kamis, 31 Juli 2025, ketika massa dari Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Tanggamus berkumpul di halaman Kantor Bupati. Mereka menyuarakan tuntutan yang tajam: mencopot Suaidi dari jabatan strategisnya sebagai Sekda karena diduga memiliki rekam jejak bermasalah saat menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).

Dalam orasinya, Agung Saputra selaku koordinator aksi menyampaikan bahwa pihaknya menolak keras pengangkatan Suaidi sebagai Sekda. Menurut Agung, langkah tersebut justru mencederai semangat reformasi birokrasi dan bertolak belakang dengan prinsip pemerintahan yang bersih.

“Jabatan Sekda adalah posisi vital. Seharusnya diisi oleh figur yang bersih dan berintegritas, bukan yang tersangkut catatan merah dalam pengelolaan keuangan daerah,” tegas Agung.

Pernyataan itu bukan tanpa dasar. GPN merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, yang menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penggunaan anggaran ketika Suaidi masih menjabat di BPKAD.

Berdasarkan dokumen LHP BPK yang dikantongi GPN, terdapat temuan mencengangkan: realisasi honorarium pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mencapai Rp540 juta, sementara dana bendahara umum daerah tercatat lebih dari Rp841 juta. Kejanggalan semakin mencolok saat publik menyoroti kegiatan koordinasi dan konsultasi urusan pemerintahan daerah.

Dalam tahun anggaran 2020, saat pandemi Covid-19 membatasi seluruh aktivitas secara fisik, realisasi anggaran kegiatan koordinasi itu justru mencapai Rp559 juta. Bahkan pada tahun 2021, nilainya melonjak drastis hingga Rp1,14 miliar. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin biaya koordinasi dan konsultasi bisa membengkak di tengah pembatasan sosial dan rapat virtual?

“Tidak masuk akal jika anggaran sebesar itu dikeluarkan saat semua aktivitas dibatasi. Patut diduga terjadi penyimpangan anggaran yang sengaja ditutup-tutupi,” lanjut Agung.

GPN menganggap keberadaan Suaidi di kursi Sekda justru menjadi ancaman bagi citra pemerintahan daerah. Lebih dari itu, jika dibiarkan, hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam membangun tata kelola yang transparan dan akuntabel.

“Jika ini tidak segera disikapi oleh Bupati, maka kami akan melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum. Jangan sampai prinsip good governance hanya menjadi jargon kosong,” ucap Agung.

GPN bahkan menyatakan siap menyeret kasus ini ke jalur hukum jika dalam waktu dekat tidak ada respons konkret dari pihak eksekutif maupun legislatif.

Selang beberapa jam setelah demonstrasi GPN, giliran Aliansi Tanggamus Menyala (ATM) melakukan aksi protes di halaman Gedung DPRD Kabupaten Tanggamus. Lokasi yang bersebelahan dengan kantor bupati itu menjadi saksi meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap arah kebijakan dan integritas pejabat daerah.

Berbeda dengan GPN yang menyoroti masalah anggaran dan integritas birokrasi, ATM membawa isu yang lebih luas: membenahi kualitas pendidikan, layanan kesehatan, sosial-budaya, hingga kondisi perekonomian daerah yang dinilai stagnan. Meski begitu, tuntutan utama mereka tetap bermuara pada penegakan hukum terhadap dugaan korupsi perjalanan dinas yang sempat viral di media sosial dan pemberitaan lokal.

“Kami minta DPRD jangan hanya duduk manis. Rakyat butuh tindakan nyata, bukan janji kosong. Usut tuntas dugaan korupsi yang sudah jadi rahasia umum,” ujar salah satu orator dari ATM.

Massa mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) segera bertindak cepat dan transparan. Mereka menilai praktik perjalanan dinas fiktif atau mark-up anggaran telah lama menjadi ‘lumbung uang gelap’ di lingkaran birokrasi daerah.

Hingga berita ini ditulis, baik pihak Pemerintah Kabupaten Tanggamus maupun DPRD belum memberikan tanggapan resmi terkait desakan pencopotan Suaidi maupun tuntutan transparansi anggaran. Beberapa anggota DPRD sempat terlihat menemui massa, namun pernyataan mereka cenderung normatif dan tidak menyentuh substansi tuntutan.

Beberapa pengamat lokal menilai situasi ini sebagai ujian besar bagi kepemimpinan Bupati Tanggamus. Jika tidak segera mengambil langkah tegas, dikhawatirkan eskalasi aksi protes akan terus meningkat dan memicu krisis kepercayaan yang lebih luas.

Isu korupsi dan ketidaktransparanan anggaran bukan hal baru di Tanggamus. Namun, ketika gelombang protes datang secara bertubi-tubi dan dari berbagai elemen masyarakat, maka ini menandakan ada krisis legitimasi yang harus segera diatasi.

Sementara itu, para pegiat antikorupsi mendorong lembaga pengawas seperti Inspektorat dan Ombudsman RI untuk turut serta mengawasi proses ini. Selain itu, publik menantikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan turut menyoroti kasus-kasus keuangan daerah yang diduga sarat manipulasi.

Jika aparat penegak hukum tidak segera turun tangan dan kepala daerah bersikap pasif, maka bukan tidak mungkin akan muncul tekanan yang lebih luas dari masyarakat sipil, akademisi, hingga tokoh adat Tanggamus.

Gelombang demonstrasi ini menyiratkan satu hal: masyarakat Tanggamus tidak lagi tinggal diam menghadapi dugaan penyimpangan anggaran dan praktik nepotisme. Mereka menuntut pemimpin yang bersih, transparan, dan berani bertindak tegas terhadap bawahannya yang bermasalah.

Pertanyaannya, apakah Bupati Tanggamus akan mengambil langkah berani demi memulihkan kepercayaan publik? Ataukah justru memilih jalan kompromi yang membiarkan api kecil ini membesar menjadi bara krisis kepercayaan yang sulit dipadamkan?

Waktu yang akan menjawab. Tapi satu yang pasti: rakyat Tanggamus sedang membuka mata. Dan mereka menuntut perubahan.