Rakyat45.com – Di tengah rutinitas sehari-hari yang menuntut baik dari pekerjaan, keluarga, maupun sosial media, emosi yang kerap muncul adalah Amarah. Berakar dari rasa frustrasi, ketidak-adilan, atau hambatan yang terasa tak terkendali, amarah bukan sekadar ledakan emosional sesaat: ia memiliki dampak nyata terhadap kualitas hidup, fisik, dan hubungan sosial kita.
Berikut adalah ulasan gaya hidup (lifestyle) tentang amarah: mengapa ia muncul, apa efeknya, dan bagaimana kita bisa mengelolanya lebih baik.
Kenapa Amarah Muncul?
Amarah adalah emosi dasar manusia yang muncul ketika kita merasa tujuan kita terganggu atau “dicuri” oleh faktor eksternal.
Dalam responsnya, otak kita termasuk bagian seperti Amygdala (pengindera ancaman) dan Orbitofrontal Cortex (perlambat emosi)-terlibat aktif. Saat bagian “rem” tidak berfungsi optimal, ledakan amarah bisa terjadi.
Studi menunjukkan bahwa di komunitas umum, sekitar 7,8 % orang Amerika melaporkan kemarahan yang intens, tidak terkendali atau tidak pantas secara reguler.
Dampak pada Gaya Hidup & Kesehatan
Fisik: Amarah berlebih berkaitan dengan peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan hormon stres—yang dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko masalah kardiovaskular.
Relasi sosial: Ledakan kemarahan atau penekanan amarah (menahan tanpa pengelolaan) dapat merusak hubungan dengan pasangan, keluarga, teman, atau rekan kerja.
Kualitas hidup: Ketika seseorang terus-menerus marah atau menahan amarah, bisa muncul kecemasan, depresi, dan kualitas hidup menurun.
Gaya hidup: Kebiasaan seperti kurang tidur, pola makan buruk, atau kurang aktivitas fisik bisa memperburuk kemampuan regulasi emosi, termasuk amarah.
Gaya Hidup Sehari-hari: Strategi Mengelola Amarah
Berikut beberapa langkah praktis yang dapat disisipkan ke dalam rutinitas sehari-hari untuk membantu “mengatur suhu” amarah:
Berhenti dulu sebelum berbicara: Ambil napas dalam-dalam, beri ruang beberapa detik sebelum merespon.
Ungkapkan dengan jelas & tegas, bukan agresif: Gunakan kalimat “Saya merasa … ketika …” dibanding “Kamu selalu” untuk meredam eskalasi.
Relaksasi / aktivitas menenangkan: Teknik seperti meditasi, yoga, atau latihan pernapasan terbukti lebih efektif untuk meredakan amarah dibanding aktivitas yang “menaikkan arousal” seperti lari cepat.
Identifikasi akar penyebab, bukan hanya gejala: Kadang amarah muncul dari stres berkepanjangan, pola tidur buruk, atau akumulasi frustrasi kecil—menyadari ini membantu.
Kapan perlu bantuan profesional: Jika amarah sering tak terkendali, berdampak buruk terhadap hubungan atau kehidupan, pertimbangkan konseling atau terapi kognitif-perilaku.
Tren & Temuan Baru yang Menarik
Baru-baru ini, muncul penelitian bahwa menulis pikiran marah kita kemudian membuangnya secara fisik (misalnya meremas kertas dan membuangnya) dapat membantu menurunkan kemarahan secara signifikan. Studi di Jepang menemukan bahwa peserta yang menulis pikiran marahnya lalu membuang kertas itu kembali ke kondisi emosi normal, lebih efektif daripada mereka yang hanya menulis tanpa membuang.
Temuan ini menarik karena menunjukkan aspek fisik dan ritual sederhana sebagai bagian dari manajemen amarah gaya hidup.
Amarah tidak selalu buruk itu sinyal bahwa sesuatu penting bagi kita dan mungkin ada yang tidak sesuai. Namun gaya hidup modern dengan tekanan tinggi menuntut kita untuk punya alat regulasi supaya amarah tidak makin merusak diri kita dan relasi. Dengan pengenalan diri yang baik, kebiasaan sehat, dan strategi praktis, kita bisa menghadapi amarah bukan sebagai musuh, tapi sebagai aspek diri yang bisa dikelola dengan bijak.***
Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.