Lifestyle

Asal-usul dan Nilai Luhur Adat Nias: Warisan Leluhur dari Gomo yang Masih Hidup Hingga Kini

133
×

Asal-usul dan Nilai Luhur Adat Nias: Warisan Leluhur dari Gomo yang Masih Hidup Hingga Kini

Sebarkan artikel ini
Asal-usul dan Nilai Luhur Adat Nias
Berbagai objek dari koleksi yang dipamerkan di Pavilion I; patung leluhur (Adu Zatua), perhiasan bangsawan dan gendang untuk upacara.(Dok: MUSEUM PUSAKA NIAS)

Rakyat45.com Pulau Nias dikenal bukan hanya karena keindahan alam dan budaya ukir batunya, tetapi juga karena kekayaan adat-istiadat yang masih dijunjung tinggi hingga saat ini. Tradisi masyarakat Nias diyakini berakar dari wilayah Gomo, salah satu daerah tertua yang menjadi pusat perkembangan budaya dan hukum adat di pulau tersebut.

Meskipun dianggap sebagai sumber utama adat (hada, böwö), hal ini tidak berarti seluruh masyarakat Nias berasal dari Gomo. Pengaruh Gomo lebih tepat disebut sebagai sumber inspirasi bagi penyebaran nilai-nilai adat di seluruh penjuru Nias.

Salah satu inti dari adat Nias adalah böwö ba wangowalu, atau adat perkawinan. Tradisi ini menjadi simbol kehormatan keluarga serta sarana mempererat hubungan antar-suku. Dalam pelaksanaannya, pernikahan masyarakat Nias bersifat exogamy, artinya calon mempelai harus berasal dari marga yang berbeda, ditulis oleh Edrisi pada tahun 1154 silam.

Mas kawin atau böwö memiliki nilai penting dan biasanya bernilai tinggi sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga mempelai perempuan. Dalam adat ini, pihak keluarga dari ayah dan ibu mempelai perempuan turut diperhitungkan hingga delapan generasi ke belakang, khususnya pihak Iwa (saudara ayah) dan Uwu/Sibaya (saudara ibu).

Selain adat perkawinan, hukum adat juga menjadi pilar utama dalam masyarakat Nias. Aturan-aturan tersebut biasanya dirumuskan dalam pesta Fondrakö, yakni pertemuan besar untuk menetapkan norma, hukum, serta tanggung jawab sosial yang berlaku di suatu wilayah. Upacara ini bukan sekadar seremonial, melainkan bentuk nyata dari kedaulatan hukum adat di tengah masyarakat tradisional.

Dalam kepercayaan lama masyarakat Nias, penghormatan terhadap leluhur menjadi bagian penting dari kehidupan spiritual. Doa dan persembahan ditujukan kepada arwah orang tua atau leluhur yang telah tiada, dengan harapan agar mereka memberikan perlindungan dan berkah bagi keturunan yang masih hidup.

Struktur sosial masyarakat Nias bersifat patrilineal, di mana garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki atau si sambua mo’ama. Anggota suatu marga merupakan keturunan dari satu leluhur laki-laki yang sama. Struktur ini menjadi dasar dalam menentukan hak waris, tanggung jawab sosial, dan pelaksanaan adat.

Salah satu tradisi menarik yang masih bertahan di Nias hingga kini adalah pergantian nama setelah memiliki anak. Seorang ayah akan menambahkan gelar “Ama” (ayah dari), sementara ibu memakai “Ina” (ibu dari), diikuti nama anak pertama mereka.

Sebagai contoh, jika pasangan memiliki anak bernama Sökhifao, maka mereka akan dikenal sebagai Ama Zökhi dan Ina Zökhi. Nama ini digunakan dalam pergaulan sehari-hari, sementara nama asli tetap dipakai dalam urusan resmi.

Tradisi ini bukan hanya bentuk kebanggaan sebagai orang tua, tetapi juga simbol kehormatan dan tanggung jawab atas kelangsungan garis keturunan.

Hingga kini, nilai-nilai adat dan hukum masyarakat Nias masih dijaga dengan penuh hormat. Warisan dari leluhur di Gomo terus hidup di tengah modernisasi, menjadi bukti bahwa akar budaya yang kuat mampu bertahan melewati zaman.***

Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.