Kupang, Rakyat45.com – Setiap 27 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Penerbangan Nasional. Bukan sekadar seremoni, momen ini menjadi refleksi sejauh mana kemandirian dan kemajuan teknologi dirgantara di tanah air. Namun di tengah derasnya arus digitalisasi dan globalisasi, muncul pertanyaan besar: masihkah Indonesia mampu melahirkan sosok jenius seperti B.J. Habibie?
Pertanyaan itu dijawab tegas oleh Prof. Dr. Jefri S. Bale, ST., M.Eng, Wakil Rektor IV Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Menurutnya, lahirnya tokoh sekelas Habibie bukanlah keajaiban, melainkan hasil dari sistem pendidikan dan budaya riset yang sehat.
“Peran industri penerbangan sangat krusial bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Hari Penerbangan Nasional bukan sekadar upacara, tapi pengingat pentingnya kemandirian teknologi,” ujar Prof. Jefri saat ditemui di Kampus Undana, 6 Oktober 2025.
Sebagai akademisi teknik mesin, Prof. Jefri mengaku kekagumannya pada Habibie bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga ketekunan dan dedikasi ilmiahnya. Ia menyebut teori crack propagation atau perambatan keretakan yang dikembangkan Habibie sebagai sumbangsih monumental bagi dunia penerbangan modern.
“Habibie adalah ilmuwan sejati. Ia berpikir jauh ke depan dan memberi solusi nyata bagi keselamatan penerbangan dunia,” katanya.
Namun Jefri juga menyadari, tantangan industri penerbangan masa kini berbeda. Ia menyoroti perlunya tata kelola yang lebih baik pada sektor penerbangan nasional, termasuk Garuda Indonesia serta layanan penerbangan perintis di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang masih belum maksimal.
“Penerbangan perintis harus jadi perhatian serius karena menjadi jantung konektivitas bangsa,” tegasnya.
Untuk melahirkan generasi penerus Habibie, Prof. Jefri menekankan pentingnya transformasi pendidikan teknik agar selaras dengan perkembangan teknologi global. Menurutnya, banyak kampus masih terjebak dengan kurikulum lama yang tidak lagi relevan.
“Mahasiswa tidak boleh hanya jadi pengguna teknologi. Mereka harus disiapkan menjadi pencipta. Itu kuncinya,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti minimnya fasilitas laboratorium di banyak perguruan tinggi daerah. Padahal, laboratorium adalah “jantung” pendidikan teknik tempat ide diuji dan inovasi lahir.
“Kalau mau hasilkan insinyur kelas dunia, investasi di laboratorium dan alat riset harus jadi prioritas nasional,” ujarnya.
Menurut Prof. Jefri, Indonesia belum sepenuhnya memiliki ekosistem riset yang kuat. Hubungan antara akademisi, industri, dan pemerintah masih berjalan sendiri-sendiri. Padahal kolaborasi ketiganya sangat penting agar hasil penelitian kampus bisa diimplementasikan menjadi produk industri.
“Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang mendorong sinergi industri dan universitas, termasuk di sektor penerbangan,” tambahnya.
Menutup perbincangan, Prof. Jefri mengajak generasi muda untuk tidak hanya mengagumi sosok Habibie, tapi juga meneladani semangat dan etos kerjanya.
“Kalau generasi muda disiplin, fokus, dan mau berinovasi, saya yakin Indonesia bisa kembali melahirkan ‘Habibie-Habibie baru’,” ucapnya penuh keyakinan.***
Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.












