Jakarta, Rakyat45.com – Hujan ringan menyelimuti Jakarta ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan langkah tegas yang mengguncang panggung politik daerah. Di hadapan para jurnalis di Gedung Merah Putih, Rabu (5/11/2025), lembaga antirasuah itu resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka korupsi, sebuah babak baru dalam kisah panjang tarik ulur kekuasaan dan uang di daerah kaya sumber daya itu.
“KPK menetapkan tiga orang tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), M. Arief Setiawan (Kepala Dinas PUPR PKPP), dan Dani M. Nursalam (Tenaga Ahli Gubernur),” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dengan nada tegas, menandai berakhirnya dua hari pemeriksaan intensif pasca operasi tangkap tangan (OTT) di Riau awal pekan ini.
Operasi senyap yang dilakukan pada Senin (3/11) itu berujung pada penangkapan sepuluh orang, termasuk sang gubernur sebuah langkah cepat yang kembali menunjukkan bahwa aroma korupsi di sektor proyek publik masih kuat tercium, bahkan setelah reformasi berjalan dua dekade.
Dua hari berselang, publik menyaksikan pemandangan yang menjadi simbol klasik perang melawan korupsi di Indonesia. Abdul Wahid, dengan wajah tegang namun berusaha tersenyum, digiring keluar dari ruang pemeriksaan mengenakan rompi oranye bertuliskan “Tahanan KPK”.
Kedua tangannya diborgol, langkahnya diarahkan menuju Rutan Gedung ACLC KPK, tempat ia akan menjalani penahanan awal selama 20 hari, sejak 4 hingga 23 November 2025.
Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu kini menjadi pejabat publik berikutnya dari Provinsi Riau yang terseret kasus korupsi sebuah pola yang terus berulang dalam sejarah pemerintahan daerah di wilayah tersebut.
Dugaan Skema “Fee Proyek”: Ketika Infrastruktur Jadi Lahan Politik
Penyidik KPK menduga Abdul Wahid terlibat dalam praktik pemerasan dan gratifikasi terkait proyek-proyek strategis di Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau.
Skemanya diduga sederhana, namun efektif: kontraktor yang ingin proyek berjalan lancar wajib menyetor “jatah” dalam bentuk fee proyek, yang kemudian mengalir ke sejumlah pejabat di lingkup pemerintahan provinsi.
Dalam OTT tersebut, penyidik menyita uang tunai sekitar Rp1,6 miliar, terdiri atas rupiah, dolar, dan pound sterling. Nilainya memang bukan yang terbesar, namun cukup untuk menguak struktur ekonomi gelap di balik kebijakan publik yang seharusnya berpihak pada rakyat.
“Kami terus mendalami aliran dana dan peran masing-masing pihak. Tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain,” tegas Johanis Tanak.
Kasus Abdul Wahid bukan sekadar skandal personal. Ia menjadi cermin retak tata kelola pemerintahan daerah, di mana sistem pengadaan proyek publik sering kali berubah menjadi ajang pertukaran kepentingan antara pengusaha dan pejabat.
Provinsi Riau, yang dikenal kaya minyak, gas, dan perkebunan telah berulang kali menjadi latar bagi drama politik dan hukum serupa. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari satu kepala daerah tersandung kasus serupa, menggambarkan betapa sulitnya membangun integritas birokrasi di tengah sistem patronase politik yang mengakar.
Penetapan Abdul Wahid menjadi ujian tersendiri bagi KPK, lembaga yang kerap menghadapi keraguan publik pasca perubahan undang-undang beberapa tahun lalu. Namun melalui operasi ini, KPK seolah ingin menegaskan bahwa fungsi penegakan hukum masih tegak berdiri, meski tekanan politik kerap membayangi.
Bagi publik, kasus ini menjadi pengingat pahit: bahwa di balik setiap proyek pembangunan yang diklaim untuk rakyat, selalu ada risiko permainan uang yang menggerogoti kepercayaan terhadap pemerintahan itu sendiri.**
Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.












