Pekanbaru, Rakyat45.com – Wakil Gubernur Riau, SF Haryanto, dinilai tidak perlu merasa takut, apalagi membantah jika benar dirinya merupakan pihak yang melaporkan dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Riau nonaktif, Abdul Wahid, dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 3 November lalu.
Menurut Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H., MT.BNSP., C.PCT, Direktur Utama Pekanbaru Journalist Center, tindakan melaporkan tindak pidana korupsi justru merupakan wujud kesadaran hukum dan tanggung jawab moral setiap warga negara.
“Justru yang tidak melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya dapat dipidana sesuai Pasal 42 UU Nomor 31 Tahun 1999. Ancaman hukumannya bisa mencapai dua belas tahun penjara,” ujar Wahyudi dalam perbincangan bersama para pemimpin redaksi media di Pekanbaru, Jum’at (7/11).
Ia menegaskan, sikap berani melaporkan tindak pidana korupsi adalah kewajiban konstitusional, bukan pelanggaran etika. “Melaporkan korupsi itu tanggung jawab semua warga negara, termasuk wartawan,” tambahnya.
Namun di sisi lain, publik mempertanyakan sikap SF Haryanto yang mengaku tidak mungkin menjadi pelapor kasus tersebut dengan alasan personal. Dalam salah satu pemberitaan, ia menyebut para pejabat yang terlibat dalam kasus itu sebagai “adik-adiknya”.
“Tidak mungkin saya melaporkan mereka. Sebab, mereka semua adik-adik saya,” ujar SF Haryanto, sebagaimana dikutip sejumlah media.
Menanggapi hal itu, Wahyudi menilai pernyataan tersebut justru menimbulkan tanda tanya baru di kalangan publik dan insan pers. Apalagi, menurutnya, proses penangkapan Abdul Wahid hingga penunjukan SF Haryanto sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Riau terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
“Proses yang begitu cepat dan praktis wajar menimbulkan spekulasi. Publik melihat ada sesuatu yang tampak sudah diatur dan disiapkan dengan rapi,” kata Wahyudi.
Ia menambahkan, fenomena ini bukan hanya mengejutkan kalangan politisi, tetapi juga menggugah perhatian masyarakat luas. Karena itu, Wahyudi mengajak insan pers untuk tetap skeptis dan melakukan pengawalan ketat terhadap jalannya pemerintahan pasca-OTT.
“Jangan-jangan ini bukan sekadar pergantian kekuasaan regional, melainkan strategi untuk menutupi aroma korupsi yang lebih besar,” ujarnya mengingatkan.
Menurut Wahyudi, sejarah panjang korupsi di Riau menunjukkan pola berulang: dari satu kasus ke kasus lain, dari satu gubernur ke gubernur berikutnya. “Seolah hanya strategi lama: Maling… teriak maling!,” katanya menutup.***
Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.












