Opini

Warga Baduy yang Dibegal Ditolak Karena Tak Punya KTP: Ketika Administrasi Mengalahkan Kemanusiaan

140
×

Warga Baduy yang Dibegal Ditolak Karena Tak Punya KTP: Ketika Administrasi Mengalahkan Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini
Warga Baduy yang Dibegal Ditolak Karena Tak Punya KTP: Ketika Administrasi Mengalahkan Kemanusiaan
Yokhebed Arumdika Probosambodo, S.H, M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta. (Dokumen Pribadi)

Ditulis oleh: Yokhebed Arumdika Probosambodo, S.H, M.H

Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta

Kabar tentang seorang warga Baduy yang menjadi korban begal saat menjual madu, tetapi ditolak rumah sakit karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), mengundang keprihatinan publik. Peristiwa itu menampar nurani bangsa : bagaimana mungkin seseorang yang terluka parah harus ditolak hanya karena persoalan administrasi?

Kejadian ini tidak hanya soal empati sosial, tetapi juga menyentuh isu hukum yang mendasar:
Apakah rumah sakit berhak menolak korban gawat darurat karena tidak punya identitas kependudukan? Dan sejauh mana negara wajib melindungi warga adat yang masih hidup di luar sistem administratif modern?

Penolakan pasien karena alasan administratif bertentangan dengan hukum positif Indonesia.
Dasar hukumnya sangat jelas:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 32 ayat (1):

“Dalam keadaan gawat darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Artinya, rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi gawat darurat, apalagi dengan alasan tidak punya KTP atau BPJS.

  1. Pasal 190 ayat (1) UU yang sama juga menegaskan:

“Setiap tenaga kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama kepada pasien dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.”

Jadi, dalam konteks hukum pidana, penolakan korban oleh rumah sakit adalah pelanggaran serius.

  1. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 29 huruf f:

“Rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai kemampuan pelayanannya.” Dengan demikian, alasan administratif tidak bisa dijadikan pembenaran hukum. Nyawa manusia tidak dapat ditunda menunggu verifikasi identitas.

Kasus ini juga memperlihatkan kesenjangan antara hukum nasional dan kehidupan masyarakat adat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI.

Namun dalam praktiknya, banyak masyarakat adat, termasuk Suku Baduy di Banten, tidak memiliki dokumen kependudukan formal seperti KTP, KK, atau akta kelahiran.
Hal ini karena mereka memilih hidup dengan sistem sosial tradisional yang tidak terintegrasi penuh dengan administrasi negara modern. Ketiadaan KTP menyebabkan mereka kesulitan mengakses layanan publik dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial.
Padahal, hak atas kesehatan dan perlindungan hukum adalah hak konstitusional, bukan hak administratif.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang watak hukum kita: apakah hukum hadir untuk melayani manusia, atau manusia yang harus menyesuaikan diri dengan prosedur hukum? Ada tiga catatan kritis:

  1. Hukum Administrasi Tidak Boleh Mengalahkan Hak Asasi

Prinsip lex superior derogat legi inferiori berlaku aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah. Dalam hal ini, hak konstitusional atas kesehatan dan perlindungan nyawa manusia (UUD 1945) harus lebih diutamakan dibanding aturan administratif tentang identitas penduduk. Menolak pasien karena tidak punya KTP sama saja menempatkan birokrasi di atas kemanusiaan.

  1. Negara Abai terhadap Akses Hukum Masyarakat Adat

Pemerintah memiliki kewajiban hukum untuk memfasilitasi penerbitan identitas kependudukan bagi masyarakat adat tanpa menghapus jati diri mereka.
Hal ini diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 63 ayat (2): “Penduduk yang belum memiliki tempat tinggal tetap atau masyarakat hukum adat tetap dapat didaftarkan dan diberikan NIK (Nomor Induk Kependudukan).” Jadi, seharusnya warga Baduy bisa memiliki identitas tanpa harus mengubah cara hidup tradisional mereka.

  1. Krisis Empati dalam Penegakan Hukum Kesehatan

Penolakan pelayanan bukan hanya soal hukum administratif, tapi krisis kemanusiaan.
Hukum kehilangan maknanya jika nyawa orang miskin atau masyarakat adat dianggap “tidak sah” hanya karena tidak terdaftar di sistem negara. Negara hukum yang beradab seharusnya memuliakan hak untuk hidup di atas segala peraturan teknis.

Dalam konteks hukum publik, tanggung jawab atas peristiwa ini tidak hanya melekat pada rumah sakit atau tenaga medis, tetapi juga pada pemerintah daerah dan pusat.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan kesehatan termasuk urusan wajib pelayanan dasar. Kegagalan menyediakan akses kesehatan bagi masyarakat adat dapat dianggap sebagai kelalaian konstitusional pemerintah. Sementara bagi rumah sakit atau tenaga kesehatan yang terbukti menolak pasien gawat darurat, sanksinya dapat berupa: Pidana (UU Kesehatan Pasal 190), Administratif (peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin operasional), Etik profesi (melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran).

Kasus warga Baduy yang dibegal lalu ditolak rumah sakit karena tak punya KTP adalah cermin kegagalan sistem hukum dalam menegakkan keadilan substantif. Hukum seharusnya menjadi alat perlindungan manusia, bukan alat penyaring siapa yang layak ditolong. Negara mesti segera memperbaiki kebijakan pelayanan publik bagi masyarakat adat, dengan menegaskan bahwa identitas kemanusiaan jauh lebih penting daripada identitas administratif. Di negeri yang berasaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak seharusnya ada nyawa yang ditolak hanya karena tidak punya KTP.***