Ditulis Oleh: Keisha Anindita & Marsya Diahayu
Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Peluncuran CoreTax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) awalnya dipromosikan sebagai langkah besar menuju sistem perpajakan yang lebih efisien dan mudah diakses. Salah satu janji utamanya adalah menurunkan biaya kepatuhan pajak (Compliance Cost) mulai dari waktu yang dihabiskan wajib pajak, beban administratif, hingga kerumitan proses yang selama ini dianggap menghambat.
Namun seiring berjalannya waktu, narasi tentang efisiensi dan penyederhanaan itu justru berubah menjadi tanda tanya besar. Apakah CoreTax benar-benar lahir sebagai sistem yang siap mengurangi beban kepatuhan pajak, ataukah peluncurannya dilakukan terburu-buru demi memenuhi target reformasi, bukan berdasarkan kesiapan teknis yang sebenarnya?
Tanda bahwa CoreTax diluncurkan dengan terburu-buru mulai terlihat sejak pemerintah memutuskan bahwa sistem baru tersebut belum dapat menggantikan sistem lama secara penuh.
Keputusan untuk tetap mengandalkan SIDJP sebagai pendamping CoreTax membuka dugaan kuat bahwa peluncuran ini dilakukan bukan karena sistemnya sudah matang, melainkan karena tenggat reformasi harus dikejar. Wajib pajak akhirnya menjadi pihak yang harus menanggung dampak dari keputusan tersebut.
Dampak dari peluncuran yang tergesa-gesa tidak berhenti pada persoalan teknis. Gangguan yang muncul sejak awal justru menimbulkan risiko fiskal yang tidak kecil bagi negara. Masalah yang dialami pengguna mulai dari kesulitan akses hingga modul yang tidak bekerja sebagaimana mestinya secara langsung mempengaruhi proses pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pelaporan yang tertunda dan hambatan administratif lainnya berpotensi menggerus penerimaan negara dalam jangka pendek. Jika terjadi penurunan penerimaan walaupun hanya satu hingga dua persen, angka tersebut sudah cukup signifikan untuk mempengaruhi kestabilan anggaran negara.
Selain itu, wajib pajak harus menanggung compliance cost yang lebih tinggi akibat adaptasi yang berjalan tidak mulus. Wajib Pajak dituntut melapor pajak tepat waktu, jika telat melapor pajak akan dikenai sanksi.
Alhasil, bagaimana masyarakat bisa memenuhi kewajiban dengan lancar jika sistemnya sendiri tidak mendukung? Kalau begini, sulit mengatakan CoreTax benar-benar menurunkan compliance cost justru tidak sesuai dengan tujuan awal dari Coretax. Proses yang seharusnya lebih sederhana justru menjadi lebih memakan waktu dan tenaga. Konsultan pajak, pelaku UMKM, dan perusahaan besar sama-sama merasakan peningkatan beban administratif pada masa transisi ini.
Hingga kini belum ada estimasi resmi mengenai potensi kehilangan penerimaan negara akibat gangguan awal implementasi CoreTax. Tanpa evaluasi transparan, publik hanya bisa menebak seberapa besar loss of potential revenue yang harus ditanggung negara.
Ketiadaan data ini juga menyulitkan analisis kebijakan yang objektif apakah CoreTax memberikan manfaat fiskal jangka panjang yang sepadan dengan risiko fiskal jangka pendek yang telah terjadi?
Pada akhirnya, CoreTax dihadirkan dengan misi besar: menurunkan compliance cost, menyederhanakan administrasi, dan menghadirkan pengalaman perpajakan yang lebih mudah bagi semua pihak. Namun realitas di lapangan menunjukkan dinamika yang jauh berbeda.
Alih-alih memangkas beban, transisi yang tidak mulus justru membuat wajib pajak menghadapi proses yang lebih rumit, lebih panjang, dan lebih berisiko.
Hal ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan reformasi administrasi tidak hanya diukur dari seberapa cepat sebuah sistem diluncurkan, tetapi dari seberapa siap sistem tersebut menjawab kebutuhan publik. Modernisasi teknologi perpajakan seharusnya menghadirkan efisiensi, bukan menambah lapisan hambatan baru.
Ke depan, transparansi, pengujian yang memadai, serta evaluasi yang jujur menjadi prasyarat mutlak untuk mengembalikan tujuan asli CoreTax: membangun sistem perpajakan yang tidak hanya canggih, tetapi juga benar-benar menurunkan biaya kepatuhan dan mempermudah layanan bagi seluruh wajib pajak. Jika tidak, reformasi yang dimaksudkan untuk menyederhanakan bisa berubah menjadi beban yang justru ingin dihilangkan sejak awal.***












