Peristiwa

Desa Wisata Sambeng Menolak Ditambang, Warga Teguhkan Sikap Lindungi Lingkungan

23
×

Desa Wisata Sambeng Menolak Ditambang, Warga Teguhkan Sikap Lindungi Lingkungan

Sebarkan artikel ini
Teks foto; Baliho besar milik warga Dusun Gleyoran berdiri mencolok di sepanjang jalan Desa Sambeng, menandai kuatnya penolakan masyarakat terhadap rencana penambangan tanah urug di kawasan yang berbatasan dengan Borobudur. Jum'at, (5/12/2025)/R45/Ags.w

Magelang, Rakyat45.com – pagi berkabut tipis, Desa Sambeng di lereng Borobudur menyuguhkan pemandangan yang tidak lazim. Bukan hamparan sawah atau deret rumah tradisional yang lebih dulu menyapa, melainkan ratusan spanduk dan baliho penolakan yang terpasang rapat, hampir tanpa jarak, dari jalan utama hingga gang-gang kecil desa.

Warna-warni kain itu membentuk semacam “tembok suara”, menegaskan satu pesan yang tidak mungkin diabaikan: warga Sambeng menolak penambangan tanah urug.

Spanduk-spanduk itu bukan sekadar atribut protes. Mereka adalah deklarasi publik bahwa masyarakat Sambeng menutup pintu bagi segala bentuk aktivitas tambang, termasuk untuk kepentingan pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen.

Pantauan lapangan Rakyat45.com menemukan beragam seruan tegas: “Kami warga Sambeng menolak galian tanah urug”, “Warga Kedungan menolak pengerukan proyek tol”, hingga seruan yang paling emosional: “Sambeng ora didol!!! Not for sale.”

“Pemasangan baliho ini murni keinginan masyarakat. Ini sikap bersama, penegasan bahwa warga menolak keras rencana penambangan tanah urug,” ujar Teguh, perangkat Desa Sambeng, ketika ditemui di Balai Desa, Jumat (5/12/2025).

Penolakan itu, imbuhnya, lahir dari kesadaran kolektif: Sambeng bukan sekadar desa, melainkan kawasan wisata yang perlu dilindungi. Apalagi letaknya berada tepat di wilayah penyangga Candi Borobudur, ikon pariwisata dunia yang keberlanjutannya sangat bertumpu pada kelestarian lingkungan sekitar.

Selain isu ekologis, kekhawatiran akan bencana turut memperkuat suara penolakan. Sambeng berada di area perbukitan dan berbatasan langsung dengan Kali Progo, sungai yang belakangan menjadi lokasi beragam kegiatan nasional, termasuk Arung Jeram Expo 2025 yang digelar FAJI DIY bersama Pemkab Kulon Progo.

Warga menyebut rencana pengerukan tanah bisa meningkatkan risiko longsor dan merusak lanskap wisata yang kini menjadi identitas desa.

Teguh menuturkan bahwa penolakan warga bukanlah reaksi mendadak. Pada Juli 2025 lalu, pertemuan resmi telah digelar di Balkondes Desa Ekonomi, melibatkan warga, pemerintah, dan pihak perusahaan tambang. Forum itu menjadi titik awal penegasan sikap warga: tak satu pun bersedia melepaskan tanah untuk dijadikan lokasi tambang.

“Dari awal sikap warga sudah jelas. Tidak ada yang bersedia. Apa pun alasannya, warga menolak pengerukan,” tegasnya.

Sikap itu kembali menguat dalam pertemuan lanjutan Kamis malam (4/12/2025), yang turut dihadiri Camat Borobudur, Danramil, dan Kapolsek. Diskusi berlangsung hingga larut, namun hasilnya tetap sama warga bergeming.

Yang memperkeruh suasana ialah minimnya informasi tentang perusahaan yang disebut-sebut akan melakukan penambangan. Warga mengaku tidak mengetahui nama perusahaan, legalitas, ataupun pengelolanya. Satu-satunya nama yang beredar hanyalah “Indra” sosok yang diduga bukan warga Magelang, dan identitasnya pun tidak jelas.

Pemerintah Desa Sambeng mengaku juga belum menerima data lengkap mengenai perusahaan tersebut. Kepala Desa Sambeng, Rowiyanto, dengan perangkat desa lainnya masih menunggu penjelasan resmi dari otoritas yang lebih tinggi.

Sementara itu, ratusan baliho penolakan tetap tegak di setiap sudut desa menjadi simbol perlawanan sekaligus pengingat bahwa bagi warga Sambeng, tanah bukan sekadar lahan. Ia adalah identitas, ruang hidup, dan warisan yang tidak untuk diperjualbelikan.**