Probolinggo, Rakyat45.com – Suasana pagi di halaman Kantor Bupati Probolinggo terasa berbeda. Langkah-langkah kaki berdatangan perlahan, bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan keteguhan. Kamis (18/12/25).
Di bawah langit yang menggantung mendung, ratusan buruh dan perwakilan serikat pekerja Probolinggo Raya berkumpul, membawa harapan dalam sebuah aksi damai yang tenang, tertib, namun sarat makna.
Tak ada teriakan yang memekakkan. Tak pula amarah yang diluapkan. Yang terbentang hanyalah spanduk, poster, dan suara hati yang disampaikan dengan keyakinan penuh.
Seperti aliran air yang sabar namun terus mencari celah, para buruh datang untuk satu tujuan: mengetuk pintu kebijakan agar lebih berpihak kepada mereka yang selama ini bekerja dalam senyap.
Aksi ini dimotori oleh Partai Buruh bersama berbagai elemen serikat pekerja. Pesan yang dibawa sederhana dalam kata, namun berat dalam makna kebijakan daerah diharapkan hadir sebagai pelindung, bukan sekadar aturan yang dingin di atas kertas.
Di halaman Kantor Bupati Probolinggo, rombongan aksi akhirnya ditemui langsung oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Probolinggo, Ugas Irwanto, didampingi Kapolres Probolinggo dan jajaran pengamanan. Aparat berdiri tenang, menjadi saksi dialog yang berlangsung tanpa benturan. Suasana tertib, nyaris hening, namun penuh keteguhan.
Ugas Irwanto menyimak setiap aspirasi yang disampaikan perwakilan buruh. Sesekali ia mengangguk, sesekali mencatat. Di balik bahasa formal dan gestur birokrasi, terselip percakapan yang lebih dalam tentang upah yang layak, jaminan sosial, akses kesehatan, serta masa depan yang tak ingin lagi terasa rapuh.
Usai dari kantor bupati, aksi damai itu bergerak menuju Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo. Di sana, tuntutan kembali ditegaskan, khususnya mengenai layanan kesehatan bagi buruh dan keluarganya. Bagi mereka, kesehatan bukan fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan dasar napas yang menentukan keberlangsungan hidup sehari-hari.
Ketua Partai Buruh, Alex, menyampaikan harapannya dengan nada tenang namun berisi. “Kami tidak menuntut berlebihan. Kami hanya ingin kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo benar-benar berpihak kepada buruh. Jika aspirasi ini diwujudkan, kami yakin buruh Probolinggo bisa hidup lebih sejahtera,” ujarnya.
Aksi damai itu berakhir tanpa riak. Massa membubarkan diri dengan tertib, meninggalkan halaman kantor pemerintahan kembali sunyi. Namun, gema tuntutan mereka masih tertinggal mengendap di dinding-dinding birokrasi, mengingatkan bahwa kesejahteraan buruh bukan sekadar angka statistik, melainkan cerita hidup ribuan keluarga.
Hari itu, Probolinggo bukan sekadar lokasi aksi. Ia menjelma panggung kecil tempat harapan berdiri menunggu, apakah akan dijawab dengan kebijakan yang adil, atau kembali disimpan dalam laci-laci keputusan yang berdebu.**












