Banda Aceh, Rakyat45.com – Di Jalan Prof. Ali Hasyimi, sebuah bangunan besar berdiri tanpa denyut kehidupan. Beton mengeras, besi berkarat, dan sunyi yang panjang menjadi saksi bagaimana sebuah proyek publik bernilai belasan miliar rupiah kehilangan arah.
Gedung Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banda Aceh kini lebih menyerupai simbol keterhentian kebijakan ketimbang wajah pelayanan pemerintah yang diharapkan publik.
Tak ada suara alat berat, tak terlihat pekerja. Bangunan yang berada satu kawasan dengan Kantor Pusat Drainase yang saat ini masih difungsikan sebagai Kantor PUPR, itu dibiarkan terbengkalai atau mangkrak. Informasi di lapangan menyebutkan, pembangunan telah terhenti selama tiga hingga empat tahun terakhir, tanpa papan penjelasan, tanpa tenggat waktu, dan tanpa komunikasi yang utuh kepada masyarakat.
Di balik bangunan setengah jadi itu, tersimpan pertanyaan mendasar, ke mana arah pengelolaan anggaran publik? Seorang pejabat Pemerintah Kota Banda Aceh, yang meminta namanya dirahasiakan, menyebut keterbatasan anggaran sebagai penyebab utama.
Menurutnya, kelanjutan proyek hanya bisa mengandalkan APBK Banda Aceh, sementara sumber pendanaan lain seperti Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tak dapat dimanfaatkan.
“Jika hanya bertumpu pada APBK murni, anggarannya sangat terbatas dan belum cukup untuk menyelesaikan pembangunan,” ujarnya singkat.
Namun, penjelasan itu tak sepenuhnya meredam kegelisahan warga. Nasir, warga Ulee Kareng, mengatakan bangunan tersebut sudah terlalu lama berhenti hingga memunculkan kesan pengabaian.
“Sudah sekitar empat tahun tidak ada kejelasan. Ironis, kantor yang mengurus pembangunan justru tak selesai dibangun,” katanya, kepada Rakyat45.com, melalui chat WhatsApp Jumat (26/12/25).
Kekhawatiran serupa disampaikan warga Lambhuk. Baginya, bangunan mangkrak bukan sekadar persoalan fisik, melainkan potensi pemborosan anggaran negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik yang lebih luas.
Sorotan juga datang dari kalangan pers. Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Provinsi Aceh, Dimas KHS AMF, menyebut proyek ini dimulai sejak 2014 atau 2015 dan berlangsung hingga 2021, sebelum akhirnya berhenti tanpa kepastian.
“Jika terhenti sejak 2021 hingga 2025, maka secara teknis dan administratif proyek ini sudah bisa dikategorikan mangkrak. Idealnya, gedung tersebut rampung dua hingga tiga tahun lalu,” ujarnya.
Dimas menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan penggunaan anggaran proyek. Ia juga mendorong keterlibatan aparat penegak hukum serta lembaga pengawasan untuk memastikan tidak ada kelalaian atau penyimpangan.
“Transparansi adalah kunci. Publik berhak tahu apakah ini murni persoalan anggaran atau ada masalah lain di balik terhentinya proyek,” tegas Ketua IWOI Aceh.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Banda Aceh maupun Dinas PUPR Kota Banda Aceh belum memberikan keterangan resmi terkait status dan rencana kelanjutan pembangunan gedung tersebut.
Publik kini menanti langkah konkret dan penjelasan terbuka, agar aset negara yang telah menyerap anggaran besar tidak terus terperangkap dalam ketidakpastian.**












