Rencana pembatasan akun media sosial di Indonesia memunculkan pertanyaan: bagaimana dampaknya bagi komunikasi, personal branding, hingga cara kita bersosialisasi?
Pekanbaru, Rakyat45.com – Media sosial sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern. Dari obrolan santai, promosi usaha rumahan, hingga membangun citra diri, semuanya kini hidup di layar ponsel. Namun, rencana pembatasan jumlah akun dalam satu platform memicu kekhawatiran: apakah kebebasan digital kita akan ikut menyempit?
Bagi banyak orang, memiliki lebih dari satu akun bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Seorang ibu bisa punya akun pribadi untuk keluarga, akun bisnis untuk jualan online, dan akun komunitas untuk berbagi pengalaman parenting. Seorang mahasiswa mungkin butuh akun terpisah untuk hobi, portofolio, dan lingkaran pertemanan berbeda.
“Kalau nanti cuma boleh satu akun, saya bingung harus pilih yang mana. Padahal akun jualan dan akun pribadi itu fungsinya beda banget,” ujar Rani (32), seorang ibu rumah tangga yang berjualan kue secara online.
Jika aturan “satu akun, satu platform” benar-benar diterapkan, fleksibilitas itu bisa hilang. Para kreator konten dan pelaku UMKM yang selama ini mengandalkan banyak akun untuk menjangkau audiens beragam, berpotensi harus mengubah strategi mereka dari nol.
Menurut Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan, isu utama bukan soal jumlah akun, melainkan identitas dan perlindungan pengguna. “Jumlah akun seharusnya tidak menjadi masalah, selama identitas pemilik jelas dan tidak disalahgunakan. Justru media sosial kini telah menjadi ruang publik yang menyatukan kehidupan personal, profesional, dan sosial,” ujarnya dikutip dari Tempo.
Sementara itu, pakar komunikasi Universitas Airlangga menilai pemerintah seharusnya lebih fokus pada pengembangan industri media digital dibanding membatasi akun. “Daripada mengatur jumlah akun, lebih baik memperkuat literasi digital dan membangkitkan ekosistem media lokal yang mampu membuka lapangan kerja,” jelasnya, seperti dilansir Detik.
Pembatasan ini jelas menyentuh esensi gaya hidup digital generasi sekarang. Media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi foto, melainkan ruang kerja, ruang belajar, bahkan ruang mencari komunitas yang memberi rasa memiliki.
Meski tujuan regulasi adalah menciptakan keteraturan dan mengurangi penyalahgunaan, banyak yang khawatir kebijakan ini justru membatasi ekspresi diri dan kreativitas.
Pada akhirnya, pertanyaan yang mengemuka: bisakah regulasi menjaga keamanan digital tanpa mengorbankan cara kita hidup, bekerja, dan bersosialisasi di dunia maya?