Jatim, Rakyat45.com – Duka mendalam menyelimuti dunia pendidikan Islam di Tanah Air. Sebuah musibah tragis menimpa Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (29/9/2025) sore. Sekitar pukul 15.00 WIB, bangunan musala tiga lantai di kompleks pesantren tersebut runtuh saat puluhan santri tengah menunaikan salat Ashar.
Suasana yang semula khusyuk seketika berubah menjadi kepanikan. Teriakan minta tolong terdengar di antara tumpukan puing, sementara para santri berupaya menyelamatkan rekan-rekannya yang tertimpa reruntuhan.
Menurut laporan awal, 79 santri menjadi korban dalam insiden ini. Data terkini dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (5/10/2025) mencatat 49 orang meninggal dunia, sementara puluhan lainnya luka-luka. Proses pencarian dan identifikasi korban masih berlangsung, dengan pembersihan puing mencapai sekitar 80 persen.
Tragedi ini memunculkan banyak pertanyaan publik terkait keamanan dan kelayakan bangunan pesantren tersebut. Dari berbagai foto yang beredar di media sosial, tampak struktur bangunan yang dinilai tidak proporsional dan rapuh.
Ahli struktur bangunan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mudji Irmawan, menilai bahwa musibah ini kemungkinan besar disebabkan oleh kesalahan konstruksi.
“Kalau dilihat dari hasil pemeriksaan di lapangan, ada beberapa bagian bangunan yang tidak sempurna secara struktur. Ini yang berisiko menyebabkan ambruk,” ujar Mudji, Minggu (5/10/2025).
Peristiwa ini membuka kembali isu serius soal izin dan keamanan bangunan pondok pesantren di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag) Tahun 2024/2025, terdapat 42.433 pesantren di seluruh Indonesia.
Provinsi Jawa Barat menempati posisi teratas dengan 13.005 pesantren, disusul Jawa Timur sebanyak 7.347, Banten 6.776, dan Jawa Tengah 5.364. Di luar Pulau Jawa, Aceh memiliki 1.925 lembaga.
Namun, dari jumlah besar tersebut, hanya sekitar 50 pesantren di Indonesia yang memiliki izin resmi bangunan. Fakta ini diungkap langsung oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dody Hanggodo.
“Idealnya semua pondok pesantren sudah mengantongi izin. Dulu disebut IMB, sekarang berganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Tapi hingga saat ini, baru sekitar 50 pesantren yang memiliki PBG,” ujarnya.
Dody menjelaskan bahwa penerbitan PBG bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, melainkan juga hasil koordinasi antara Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama, karena pesantren berada di bawah naungan Kemenag.
Pergantian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi PBG didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021. Perubahan ini sejatinya dimaksudkan agar setiap bangunan memenuhi standar keamanan, struktur, dan keselamatan pengguna.
Tragedi di Ponpes Al-Khoziny menjadi peringatan keras bagi seluruh pengelola lembaga pendidikan, khususnya pesantren, untuk memperhatikan aspek keselamatan fisik bangunan.
Di tengah pesatnya pertumbuhan jumlah pesantren, izin bangunan bukan sekadar dokumen administratif, tetapi bentuk nyata perlindungan terhadap nyawa ribuan santri yang menimba ilmu di dalamnya.
Bangunan boleh berdiri megah, tetapi tanpa kepatuhan terhadap standar keselamatan, nyawa para penuntut ilmu bisa menjadi taruhannya.