Politik

Kasus Bom Rakitan di SMAN 72, Komisi X DPR Minta Sekolah Perkuat Pendidikan Karakter dan Antibullying

17
×

Kasus Bom Rakitan di SMAN 72, Komisi X DPR Minta Sekolah Perkuat Pendidikan Karakter dan Antibullying

Sebarkan artikel ini
Kasus Bom Rakitan di SMAN 72, Komisi X DPR Minta Sekolah Perkuat Pendidikan Karakter dan Antibullying
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayanti./R45/Md

Rakyat45.com, Pontianak Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayanti, memberikan perhatian serius terhadap insiden ledakan bom rakitan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang dilakukan seorang siswa yang masih di bawah umur. Esti menilai kejadian tersebut menjadi tanda bahaya bagi dunia pendidikan dan menunjukkan adanya celah besar dalam pembinaan karakter serta lingkungan belajar yang aman bagi siswa.

Menurut Esti, kasus ini tidak boleh dilihat semata sebagai tindakan kriminal, tetapi harus dipahami sebagai dampak dari kegagalan sistem pendidikan dan lingkungan sekitar dalam mengantisipasi kerentanan anak, termasuk mereka yang mengalami perundungan atau memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis.

“Anak-anak memiliki kondisi khusus yang harus dipahami guru. Informasinya, siswa ini juga berasal dari keluarga yang tidak utuh. Ditambah ada unsur bullying. Artinya, sekolah harus konsisten menanamkan nilai interaksi sosial yang sehat antar-siswa,” ujar Esti saat melakukan Kunjungan Kerja Bidang Pendidikan Komisi X di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (19/11/2025).

Esti menegaskan bahwa pembelajaran etika dan adab tidak boleh hanya menjadi materi tempelan, tetapi perlu menjadi kebiasaan dalam aktivitas sekolah sehari-hari. Nilai-nilai sederhana seperti menghargai teman, tidak mengejek, dan berbicara dengan sopan harus kembali ditegaskan.

“Bagaimana anak belajar menghormati temannya, bagaimana memahami batasan dalam berkata-kata, itu harus diajarkan tiap hari,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan kembali tradisi pendidikan masa lalu yang penuh nilai sopan santun, seperti memberi salam saat bertemu guru atau menjaga kebersihan sekitar sekolah. Menurutnya, meski dianggap kuno oleh sebagian orang, nilai-nilai tersebut merupakan fondasi karakter yang kini mulai memudar.

“Dulu lewat di depan guru saja kita sudah permisi. Ada yang membantu membawakan barang guru. Sekarang dianggap kuno, padahal itu dasar pembentukan karakter,” lanjut Esti.

Tidak hanya di Indonesia, ia mencontohkan bagaimana negara lain menghidupkan etika publik, bahkan melalui kebiasaan sederhana seperti mengucapkan terima kasih kepada pengendara yang berhenti di zebra cross. Ia menilai, hal seperti itu sangat mungkin ditanamkan sejak pendidikan usia dini.

“Tidak perlu bikin mata pelajaran baru. Cukup diterapkan dalam rutinitas sekolah. Mulai dari mengucapkan selamat pagi kepada guru saat masuk kelas,” ucapnya.

Politisi PDI Perjuangan itu juga menekankan pentingnya peran orang tua. Menurutnya, masih banyak orang tua yang salah persepsi bahwa anak tidak perlu terlibat dalam kegiatan kebersihan sekolah. Ia menilai pola pikir seperti itu harus diubah.

“Ada orang tua bilang, saya sekolahkan anak agar tidak perlu membersihkan toilet. Padahal kegiatan seperti itu menumbuhkan tanggung jawab dan kemandirian,” jelasnya.

Esti menutup penjelasannya dengan menekankan bahwa pendidikan karakter harus diarahkan untuk membentuk generasi berjiwa Pancasila, beretika, mandiri, dan bermoral baik.

“Kita ingin anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang kuat karakternya. Pendidikan karakter adalah jalan untuk mewujudkannya, agar lahir generasi yang benar-benar berpendidikan Pancasila,” pungkasnya.***