Ditulis Oleh: Sarafuddin, S.Pd.,M.Pd
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Slamet Riyadi
Dulu, guru adalah satu-satunya sumber ilmu di ruang kelas. Kini, peran itu digeser oleh video pembelajaran, mesin pencari (search engine), bahkan kecerdasan buatan. Di tengah derasnya arus digitalisasi, guru dihadapkan pada tantangan besar yaitu bagaimana tetap relevan, profesional, dan bermakna di era ketika informasi dapat diakses hanya dengan satu sentuhan jari. Teknologi memang membuka peluang besar bagi pendidikan, mempercepat akses, memperluas kolaborasi, dan memperkaya metode belajar. Namun di sisi lain, ini juga menuntut guru untuk berubah dari sekadar penyampai materi menjadi fasilitator, inovator, dan pembimbing karakter.
Profesionalisme guru di era digital tidak lagi cukup diukur dari kemampuan mengajar di depan kelas.
Namun kini mencakup tiga hal utama diantaranya kompetensi teknologi, integritas moral, dan kemampuan beradaptasi. Guru perlu memahami teknologi bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai alat. Seorang guru profesional mampu memanfaatkan platform digital untuk menciptakan pembelajaran yang interaktif, personal, dan bermakna, bukan sekadar mengganti papan tulis dengan PowerPoint. Di tengah banjir informasi dan budaya instan, guru harus menjadi jangkar nilai.
Profesionalisme bukan hanya soal kemampuan digital, tetapi juga soal keteladanan dan tanggung jawab etis dalam membimbing generasi muda agar bijak menggunakan teknologi. Dunia digital berubah cepat. Guru yang profesional bukan yang tahu segalanya, tetapi yang tidak berhenti belajar.
Ia harus terbuka terhadap pembaruan, mau bereksperimen dengan metode baru, dan mampu mengaitkan teknologi dengan kebutuhan nyata siswa.
Di balik tuntutan modernisasi, banyak guru justru merasa kewalahan. Mereka dihadapkan pada sistem administrasi berbasis digital yang rumit, penilaian daring yang menumpuk, serta tekanan sosial untuk selalu “melek teknologi.” Bahkan, sebagian guru merasa kehilangan jati diri karena pembelajaran kini terlalu berorientasi pada tools, bukan values. Kondisi ini menimbulkan paradoks saat kita ingin guru kreatif, tapi sering kali tidak memberi mereka ruang dan dukungan untuk berkreasi.
Kita menuntut guru menguasai teknologi, tapi pelatihan yang mereka terima masih minim dan formalistik. Profesionalisme guru tidak bisa tumbuh di tengah beban yang mencekik dan kebijakan yang hanya menilai hasil, bukan proses. Seorang guru profesional di era digital bukanlah yang paling canggih menggunakan aplikasi, melainkan yang paling tekun belajar hal baru.
Ia sadar bahwa murid-muridnya hidup di dunia yang berubah cepat, dan karena itu, ia pun tidak berhenti menyesuaikan diri. Menjadi guru hari ini berarti menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner). Guru yang terus mengasah diri akan mampu memadukan pengetahuan klasik dan teknologi modern untuk membentuk siswa yang cerdas sekaligus berkarakter.
Seperti kata pepatah Jepang: “To teach is to learn twice.” Mengajar bukan berarti berhenti belajar justru itu adalah cara terbaik untuk terus tumbuh. Agar guru mampu beradaptasi di era digital, sistem pendidikan juga harus berubah. Beberapa langkah penting yang perlu diperkuat antara lain:
- Pelatihan digital yang berkelanjutan dan aplikatif, bukan sekadar bersifat seremonial.
- Penyederhanaan beban administrasi agar guru bisa fokus pada interaksi dan inovasi pembelajaran.
- Kebijakan insentif berbasis inovasi, yang memberi penghargaan pada guru kreatif, bukan hanya guru yang patuh prosedur.
- Komunitas belajar digital antar guru untuk saling berbagi praktik baik dan membangun solidaritas profesi.
Profesionalisme guru tidak akan lahir dari tekanan, tetapi dari rasa percaya dan dukungan nyata. Mesin pencari bisa memberikan jawaban, tapi tidak bisa memberi makna. Kecerdasan buatan bisa mengajar, tapi tidak bisa memahami perasaan murid yang kehilangan semangat. Itulah alas an mengapa guru tetap tak tergantikan. Namun agar tetap relevan, guru perlu menyatukan teknologi dan empati, profesionalisme dan kemanusiaan. Karena pada akhirnya, profesionalisme sejati bukan tentang seberapa canggih alat yang digunakan, tetapi seberapa dalam seorang guru mampu menyentuh hati dan membimbing akal murid-muridnya di dunia yang semakin digital ini.












