Hukum & Kriminal

Harapan Dijual: Kejari Dumai Ungkap Modus Baru Perdagangan Manusia di Era Digital

33
×

Harapan Dijual: Kejari Dumai Ungkap Modus Baru Perdagangan Manusia di Era Digital

Sebarkan artikel ini
Teks Foto: Dua pejabat Kejari Dumai dari Bidang Intelijen, Randi Ahyad Sarwandi, SH., MH., dan Tabah Santoso, SH., MH., berdiskusi dalam program “Jaksa Menjawab” di studio RTv, memaparkan strategi pencegahan dan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selasa, (2/12/2025)/R45.

Dumai, Rakyat45.com – Pelabuhan yang tak pernah menutup mata, tempat kapal-kapal melintas seperti garis takdir di atas air, ada cerita yang jarang naik ke permukaan. Cerita tentang seseorang yang melangkah pergi dari rumah sempit dengan membawa satu hal yang tak pernah muat dalam koper manapun, harapan.

Harapan akan hidup yang lebih baik. Harapan untuk membahagiakan keluarga. Harapan yang sering kali tak berpihak.

Dalam suasana tenang namun penuh makna, program “Jaksa Menjawab” yang tayang di RTv pada Senin, 2 Desember 2024, membuka lembaran realitas yang jarang diungkap, wajah baru perdagangan manusia.

Wajah yang tidak lagi datang lewat pintu gelap, tetapi melalui layar ponsel, membungkus diri dalam janji-janji pekerjaan yang terlalu indah untuk dipercaya.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Dumai menghadirkan dua narasumber kunci, Randi Ahyad Sarwandi, SH., MH., dan Tabah Santoso, SH., MH, yang mengurai bagaimana TPPO kini bergerak lebih halus, lebih licin, dan lebih sulit ditebak.

Mereka menekankan bahwa banyak korban tidak terseret karena kurang hati-hati, tetapi karena terlalu percaya. Mereka berangkat dengan niat yang jernih, tetapi memasuki lorong yang sengaja dibuat buram oleh para perekrut ilegal.

Tawaran gaji fantastis, permintaan berangkat mendadak, dan permintaan paspor sejak awal, semuanya adalah sinyal yang sering kali gagal terbaca oleh mereka yang hanya ingin memperbaiki hidup.

Dari program dialog itu, mengalir gambaran tentang upaya pencegahan yang dirajut oleh Kejari Dumai. Bukan sekadar sosialisasi formal, tetapi pendekatan yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat: dari kecamatan, sekolah, perguruan tinggi, hingga ruang keluarga.

Lewat Jaksa Masuk Sekolah, Jaksa Menyapa, dan Jaksa Menjawab, hukum dihadirkan bukan sebagai teks yang kaku, tetapi sebagai percakapan yang bisa dipahami, dirasakan, dan diingat.

Melalui siaran radio dan televisi, hukum menjelma dari “wibawa yang jauh di gedung pemerintahan” menjadi suara yang hadir di ruang tamu masyarakat.

Kehadiran petugas Kejaksaan di Posko Pelabuhan Penumpang Dumai menjadi semacam benteng senyap. Mereka tidak hanya mengawasi, tetapi juga mengedukasi, memberi penjelasan, dan memastikan setiap orang yang hendak berangkat memahami risiko yang sebenarnya.

Pelabuhan bukan hanya permulaan perjalanan; ia adalah garis pertahanan terakhir agar sebuah mimpi tidak berubah menjadi perangkap yang mematikan.

Tetapi ketika edukasi tidak lagi cukup, penindakan menjadi kewajiban. Dengan landasan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, Kejari Dumai menegakkan proses hukum secara tegas.

“Mulai dari perekrutan hingga eksploitasi, setiap pelaku kami tuntut tanpa kompromi. Martabat manusia bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan,” tegas Randi.

Menjelang akhir program, meluncur satu kalimat yang menggantung lama, seperti suara ombak yang tak pernah lelah menghantam dermaga:

“Melawan TPPO bukan semata menghukum. Ini soal menjaga masa depan seseorang agar tidak patah oleh janji yang tak pernah benar sejak awal.”

Randi kemudian menambahkan pengingat yang sederhana namun tajam: perlindungan sering kali tidak dimulai dari aparat, tetapi dari obrolan kecil antara anggota keluarga pertanyaan, kecurigaan kecil, atau keputusan untuk menunda.

“Karena kadang, keselamatan lahir dari satu langkah ekstra, langkah kecil yang mampu menyelamatkan seseorang dari jurang gelap perdagangan manusia.” pungkasnya.**