Jakarta, Rakyat45.com – Di tengah ritme hidup yang serba cepat dan penuh tekanan, manusia sering kali lupa pada satu hal penting: menyapa jiwanya sendiri. Rutinitas yang padat, target yang mengejar, hingga notifikasi yang tak kunjung berhenti membuat kita terus bergerak, tapi jarang benar-benar berhenti untuk merasa.
Suara lembut itu datang dari Anna Surti Ariani, psikolog dan psikoterapis yang juga konsultan Kementerian Kesehatan RI. Dalam sesi bertajuk “Merawat Jiwa, Menjaga Harapan” pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) 2025, Jumat (10/10/2025), Anna mengajak masyarakat untuk kembali menengok ke dalam diri.
“Sehat jiwa bukan berarti bebas dari stres. Tapi tentang bagaimana kita bisa berpikir jernih, merasa tenang, dan tetap berfungsi penuh makna,” ujar Anna dengan nada menenangkan.
Menurut Anna, tidak semua luka tampak di kulit. Ada yang bersembunyi di balik senyum, di antara tumpukan tugas, atau bahkan di keheningan malam. Luka psikologis bisa muncul dari kehilangan, tekanan ekonomi, konflik, atau trauma yang belum selesai.
“Kadang seseorang tampak baik-baik saja, padahal di dalamnya ada badai kecil yang tak terlihat. Burnout, overthinking, atau rasa hampa yang berlarut-larut adalah tanda bahwa jiwa sedang butuh istirahat,” jelasnya.
Ia menegaskan, tak perlu menunggu sampai ambruk untuk mengakui bahwa diri sedang lelah. Semua orang berhak untuk pulih.
Sebagaimana tubuh yang butuh perawatan saat terluka, jiwa pun demikian. Karenanya, Kementerian Kesehatan bersama para psikolog menginisiasi program Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP).
- Anna menjelaskan konsep sederhana 3M yang bisa dilakukan siapa pun:
- Memperhatikan – peka terhadap perubahan emosi atau perilaku diri sendiri dan orang lain.
- Mendengarkan – hadir sepenuh hati tanpa menghakimi.
- Menghubungkan – menuntun orang yang terluka untuk mendapat bantuan profesional.
“Kadang yang dibutuhkan bukan solusi, tapi telinga yang mau mendengar dengan tulus,” kata Anna.
Dalam kehidupan modern yang menuntut produktivitas tanpa henti, Anna mengingatkan bahwa merawat diri bukan egois, tapi bentuk tanggung jawab.
Ia membagi perawatan diri ke dalam lima sisi:
- Fisiologis: makan bergizi, tidur cukup, olahraga teratur.
- Emosional: mengenali dan mengekspresikan perasaan dengan sehat.
- Spiritual: berdoa, bermeditasi, atau melakukan refleksi diri.
- Profesional: menjaga batas antara kerja dan waktu pribadi.
- Sosial: berinteraksi dan mencari dukungan dari lingkungan positif.
“Self-care bukan tentang memanjakan diri, tapi cara kita menjaga keseimbangan agar tetap berdaya,” tegasnya.
Anna juga mengingatkan bahwa tidak ada yang lemah karena mencari bantuan. “Datang ke psikolog atau psikiater bukan tanda gagal, justru bukti bahwa kita berani peduli pada diri sendiri,” ujarnya.
Ia lalu menutup sesi dengan ajakan sederhana: tarik napas perlahan, rasakan udara masuk dan keluar, sadari keberadaan diri. “Itu sudah langkah kecil menuju ketenangan. Dari sana, kita belajar melepas beban dan menumbuhkan harapan baru,” tutupnya penuh makna.
Ratusan peserta yang hadir tampak larut dalam suasana hening dan reflektif. Pesan yang tertinggal hanya satu merawat jiwa bukan pilihan, melainkan kebutuhan.
Sebab dari jiwa yang tenang, tumbuh kekuatan untuk mencintai, berbuat, dan bertahan. Dan di sanalah, harapan kembali tumbuh, perlahan tapi pasti.
Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.