Nasional

Rokan Hulu, Negeri Seribu Suluk dengan Sejarah Panjang dan Identitas yang Kokoh

13
×

Rokan Hulu, Negeri Seribu Suluk dengan Sejarah Panjang dan Identitas yang Kokoh

Sebarkan artikel ini
Rokan Hulu Negeri Seribu Suluk dengan Sejarah Panjang dan Identitas yang Kokoh
Dok: Kota Kabupaten Rokan Hulu-Riau.

Rohul, Rakyat45.com – Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) bukan sekadar wilayah administratif di Provinsi Riau, melainkan daerah yang sarat makna sejarah dan peradaban Melayu. Terletak di bagian hulu Sungai Rokan, daerah ini sejak lama dikenal sebagai pusat budaya, perdagangan, dan keagamaan di tengah Pulau Sumatera.

Kata Rokan sendiri diyakini berasal dari bahasa Arab “rokana”, yang berarti damai atau rukun. Nama ini mencerminkan karakter masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan kedamaian. Sejak berabad-abad lalu, daerah ini juga dikenal sebagai Rantau Rokan, tempat orang-orang dari Sumatera Barat datang untuk menetap dan berdagang.

Sungai Rokan yang membelah wilayah ini menjadi jalur transportasi vital, menghubungkan pedalaman Sumatera hingga ke Selat Malaka. Sejak abad ke-13, nama Rokan sudah tercatat dalam sejumlah naskah kuno, termasuk dalam kitab “Negarakertagama” karya Mpu Prapanca (1364 M), yang menyebut Rokan sebagai wilayah di bawah kekuasaan Majapahit.

Pada masa silam, Rokan Hulu dikenal sebagai pusat kerajaan besar bernama Kerajaan Rokan Tua dengan ibu kota di Koto Intan. Seiring waktu, wilayah ini berkembang dengan berdirinya berbagai kerajaan baru seperti Pekaitan, Batu Hampar, Kubu, Bangko, Tanah Putih, serta lima kerajaan besar di bagian hulu: Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Kunto Darussalam, dan Rokan IV Koto.

Menurut sejarawan lokal Junaidi Syam, Sultan Zainal Abidin Syah pernah berusaha menyatukan Rokan Hulu dan Rokan Hilir pada abad ke-17, namun upaya itu digagalkan oleh politik adu domba penjajah Belanda yang memicu konflik dengan Kerajaan Siak. Sultan Zainal Abidin kemudian ditangkap dan diasingkan ke Madiun, Jawa Timur, di mana ia dikenal masyarakat setempat dengan nama Mbah Kobul.

Pada masa penjajahan Belanda, Rokan Hulu dibagi menjadi dua wilayah besar: Rokan Kanan dan Rokan Kiri. Rokan Kanan meliputi kerajaan Tambusai, Rambah, dan Kepenuhan, sementara Rokan Kiri mencakup wilayah Rokan IV Koto, Kunto Darussalam, hingga kawasan perdagangan Ujung Batu.

Belanda mengakui wilayah-wilayah ini sebagai landschap atau daerah otonom kecil di bawah kendali mereka. Istilah luhak kemudian digunakan untuk menyebut bekas kerajaan tersebut. Nama-nama luhak ini masih dikenal hingga kini dan diabadikan sebagai nama kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu.

Pada masa pendudukan Jepang, wilayah ini dipimpin oleh seorang kuncho yang ditunjuk langsung oleh pemerintah Jepang. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tertanggal 9 November 1949, Rokan Hulu masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kampar dengan sebutan Kewedanaan Pasir Pengaraian.

Keinginan masyarakat Rokan Hulu untuk berdiri sebagai kabupaten mandiri telah muncul sejak awal 1960-an. Melalui Musyawarah Besar (Mubes) yang diadakan pada tahun 1962 dan 1968, tokoh-tokoh adat dan masyarakat sepakat memperjuangkan peningkatan status wilayah. Namun, perjuangan tersebut belum membuahkan hasil.

Perjuangan panjang itu baru menunjukkan hasil nyata pada tahun 1997, saat pemerintah pusat menetapkan wilayah Rokan Hulu sebagai Wilayah Kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah I. Dua tahun kemudian, di tengah semangat reformasi dan otonomi daerah, aspirasi masyarakat semakin kuat untuk memisahkan diri dari Kabupaten Kampar.

Pada 16 Mei 1999, Panitia Pembentukan Kabupaten Rokan Hulu mengajukan usulan resmi ke DPRD Kampar dan Gubernur Riau. Respon positif datang dari Gubernur Riau kala itu, Saleh Djasit, yang mendukung pemekaran wilayah melalui surat resmi kepada Menteri Dalam Negeri.

Akhirnya, pada 4 Oktober 1999, terbit Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Rokan Hulu bersama tujuh kabupaten lainnya di Riau. Rokan Hulu resmi menjadi daerah otonom dengan ibu kota Pasir Pengaraian, dan diresmikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Faisal Tanjung pada 12 Oktober 1999.

Pada awal berdirinya, Rokan Hulu terdiri atas tujuh kecamatan, namun tiga desa—Tandun, Aliantan, dan Kabun—belum termasuk dalam wilayah administratifnya. Berkat perjuangan keras masyarakat dan pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Bupati H. Ramlan Zas, S.H., pemerintah pusat akhirnya merevisi undang-undang tersebut melalui UU Nomor 11 Tahun 2003 dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 010/PUU-I/2004, yang mengesahkan tiga desa tersebut sebagai bagian resmi dari Kabupaten Rokan Hulu.

Perubahan terakhir dilakukan melalui UU Nomor 34 Tahun 2008, yang semakin memperkokoh status hukum dan batas wilayah Kabupaten Rokan Hulu.

Kini, setelah lebih dari dua dekade berdiri, Rokan Hulu terus berkembang menjadi daerah yang dikenal dengan sebutan “Negeri Seribu Suluk”, simbol dari kekayaan spiritual dan budaya Islam yang melekat dalam kehidupan masyarakatnya.

Peneliti asal Jerman, Max Mozkowski, bahkan menyebut Rokan Hulu sebagai “The Heart of Sumatra” atau Jantungnya Pulau Sumatera, karena posisinya yang strategis sekaligus kaya akan warisan budaya.

Dengan sejarah panjang dan perjuangan tak kenal lelah, masyarakat Rohul kini menatap masa depan dengan optimisme baru, menjaga warisan leluhur sambil terus bergerak maju menuju daerah yang berdaya saing, religius, dan berbudaya.

Selamat Hari Jadi ke-26 Kabupaten Rokan Hulu – Negeri Seribu Suluk, Jantungnya Sumatera.

Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.