Hendry Munief Kritisi Rencana Kenaikan PPN, Sebut Dampaknya Berbahaya bagi Ekonomi Indonesia

Pekanbaru, Rakyat45.com – Anggota Komisi VII DPR RI, Hendry Munief, mengkritik rencana pemerintah yang akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Ia meminta agar pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut, mengingat banyaknya penolakan dari berbagai kalangan, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), yang merasa keberatan dengan keputusan tersebut.

Menurut Hendry, rencana kenaikan PPN ini perlu dipertimbangkan secara matang, karena situasi ekonomi Indonesia saat ini belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi. “Ekonomi kita masih belum tumbuh pasca-COVID-19. Hal ini terlihat dari pendapatan pajak 2024 yang tidak mencapai target.

Jika kebijakan ini tetap berjalan, bukannya perekonomian Indonesia pulih, malah bisa mengancam cita-cita menjadi negara maju di tahun 2025,” ujar Hendry dalam keterangan yang diterima di Pekanbaru, Ahad (17/11).

Hendry, yang juga Ketua Forum Bisnis (Forbis) Riau, menyoroti peran penting UMKM dalam perekonomian Indonesia. Ia mencatat, sebanyak 99 persen unit usaha di Indonesia merupakan UMKM, yang pada 2023 berjumlah sekitar 66 juta pelaku usaha dan menyumbang 61 persen dari PDB Indonesia, setara dengan Rp9.580 triliun.

“UMKM adalah sektor yang paling terdampak jika PPN naik. Baik UMKM mandiri maupun yang menjadi mitra industri besar. Kenaikan pajak ini jelas akan memengaruhi kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional,” tambahnya.

Selain itu, Hendry juga mengingatkan dampak lainnya, yakni penurunan daya beli masyarakat. Sebanyak 60 persen perekonomian Indonesia bergantung pada sektor konsumsi, terutama dari kalangan kelas menengah bawah yang memiliki kebiasaan belanja yang tinggi. Jika PPN naik, hal ini berisiko menurunkan daya beli dan bisa menyebabkan kelas menengah terperosok ke kelas bawah.

“Selama lima tahun terakhir, kita sudah kehilangan hampir 9,5 juta orang dari kelas menengah. Jika PPN naik, angka ini bisa semakin bertambah, dan dampaknya sangat berbahaya bagi ekonomi kita,” paparnya.

Hendry juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN pada 2025 bukanlah yang pertama. Pada 2022, pemerintah sudah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, dan kini akan naik lagi ke 12 persen. “Kenaikan PPN selama lima tahun ini mencapai 20 persen. Bukan sekadar kenaikan 2 persen, tapi dampaknya jauh lebih besar,” tegas Hendry.

Dia juga mengungkapkan bahwa kebijakan ini bisa menyebabkan kenaikan harga barang jika perusahaan memilih untuk mempertahankan tenaga kerja, yang akhirnya berdampak pada penurunan keuntungan sektor privat dan berkurangnya investasi, serta penurunan penyerapan tenaga kerja di masa depan.

“Pemerintah sebaiknya menunda kenaikan PPN ini, apalagi dengan melemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dari deflasi selama lima bulan berturut-turut. Ada banyak cara lain yang lebih bijak dan tidak berisiko untuk meningkatkan pendapatan negara,” tutup Hendry.