Jakarta, Rakyat45.com – Isu pembebasan narapidana kasus korupsi lanjut usia di tengah pandemi virus corona (COVID-19) sempat menjadi polemik. Peluang tersebut kini ditutup Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam rapat terbatas menerima laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Jokowi menjelaskan alasan akan membebaskan napi karena overkapasitas lapas dan dikhawatirkan terjadi penularan virus corona. Namun itu ditekankan Jokowi untuk napi tindak pidana umum (tipidum), dan bukan koruptor yang merupakan kasus tindak pidana khusus (tipidsus).
“Saya hanya ingin menyampaikan bahwa untuk napi koruptor tidak pernah kita bicarakan dalam rapat-rapat kita. Jadi dalam PP 99 tahun 2012 (Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, red) tidak ada revisi untuk ini. jadi pembebasan untuk napi hanya untuk napi pidana umum,” kata Jokowi lewat video conference, Senin (6/4).
Jokowi berkaca dari negara-negara lain yang membebaskan napi untuk mencegah penyebaran virus corona. Seperti di Iran dan Brasil yang membebaskan puluhan ribu napi. Kepala Negara mengatakan, pembebasan napi tipidum memiliki syarat ketat.
“Kita juga minggu lalu saya menyetujui, ini juga agar ada juga pembebasan napi karena memang lapas kita yang overkapasitas. Sehingga sangat berisiko mempercepat penyebaran COVID-19 di lapas-lapas kita. Tetapi tidak bebas begitu saja, tentu saja ada syaratnya, ada kriterianya, dan pengawasannya,” ujar Jokowi.
Awal Mula Wacana Diembuskan
Wacana tersebut awalnya disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam rapat bersama Komisi III melalui teleconference, Rabu 1 April 2020. Yasonna menjelaskan Kemenkum HAM mengambil langkah pencegahan virus corona di lapas yang overkapasitas. Setidaknya akan ada 35 ribu napi yang akan dibebaskan berdasarkan Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor 19.PK.01.04 Tahun 2020.
“Tentu ini tidak cukup. Perkiraan kami bagaimana merevisi PP 99 Tahun 2012 tentu dengan kriteria ketat sementara ini. Pertama, narapidana kasus narkotika dengan masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya akan kami berikan asimilasi di rumah. Kami perkirakan 15.442 per hari ini datanya. Mungkin akan bertambah per hari,” kata Yasonna.
“Napi korupsi usia 60 tahun ke atas yang telah menjalani 2/3 masa pidana sebanyak 300 orang. Napi tipidsus dengan sakit kronis yang dinyatakan rumah sakit pemerintah yang telah menjalani dua pertiga masa pidana 1.457 orang. Dan napi asing ada 53 orang,” imbuhnya.
Sempat Dikritik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik wacana tersebut. KPK berharap tidak ada keringanan bagi napi koruptor.
“KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat,” kata Plt Jubir KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (1/4).
Ali mengatakan KPK juga tidak pernah diminta pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukkan dalam perubahan PP tersebut. Padahal, menurutnya, setiap perubahan aturan harus dikaji terlebih dahulu.
Sementara itu, ICW menilai usulan Yasonna tidak tepat. ICW menyebut ada peluang untuk mempermudah keringanan hukuman bagi napi kasus korupsi.
“Menteri Hukum dan HAM tidak memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Penting untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu, mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Kamis (2/4).
Yasonna Laoly Angkat Bicara
Yasonna meluruskan dan membantah dirinya ingin membebaskan napi koruptor. Dia mengatakan, membebaskan napi koruptor harus melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Saya disebut mau meloloskan napi narkoba dan kasus korupsi. Seperti sudah beredar beberapa waktu lalu di media massa. Itu tidak benar,” kata Yasonna dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/4).
Politikus PDIP itu menyebut pembahasan revisi PP Nomor 99 tahun 2012 belum dilakukan. Menurutnya, itu baru usulan dan bisa saja tidak setuju disetujui Jokowi.
Menurut dia, isu bahwa dia hendak membebaskan koruptor adalah imajinasi tanpa fakta, cenderung mirip halusinasi provokatif. Yasonna mengatakan kebijakannya ditujukan untuk membebaskan para napi yang menghuni sel-sel overkapasitas, pertimbanganya adalah nilai kemanusiaan. Dia kemudian mengulas komentar-komentar di media sosial soal isu pembebasan koruptor yang tidak benar itu.
“Bahasanya kasarnya, ampun deh. Bahasa jauh dari adab ketimuran dan bahasa orang terdidik. Level keadaban kita berkomunikasi sudah sangat mundur,” kata Yasonna.
Sumber: kompas.com