Yogyakarta, Rakyat45.com – Potensi Indonesia untuk terpecah menjadi beberapa negara kembali mencuat dalam diskusi akademik yang digelar di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM). Dalam kuliah bertajuk Keistimewaan Yogyakarta tahap ketiga, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., menyampaikan analisis mengkhawatirkan tentang posisi kerapuhan negara ini.
Acara yang berlangsung di Auditorium Kemarijani Soenjoto, Kamis (28/11/2024), ini dihadiri oleh berbagai tokoh, termasuk anggota DPRD DIY Komisi D, RB. Dwi Wahyu, S.Pd., M.Si., dan Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. Turut hadir pula akademisi UGM, guru besar, dan perwakilan komunitas literasi dari berbagai daerah.
Dalam diskusi tersebut, Prof. Djagal menyoroti data indeks kerapuhan Indonesia yang sejak 2005 menempatkan negara ini di posisi “peringatan” (warna kuning) dari total 179 negara. “Jika tidak ada perbaikan signifikan, indeks ini berpotensi bergeser ke zona merah, memicu perang saudara berkepanjangan, dan membuka peluang disintegrasi menjadi delapan negara,” ujarnya.
Sebagai mantan Deputi Pengkajian Strategis di Lemhannas RI, Prof. Djagal menekankan pentingnya membangun ketahanan nasional berbasis kolektivitas. Menurutnya, keberlanjutan NKRI membutuhkan perubahan paradigma yang menyeluruh, terutama dalam memperkuat ideologi, sosial budaya, dan wawasan kebangsaan.
Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama antara UGM, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, serta berbagai pihak lain untuk mendorong literasi dan pemahaman tentang keistimewaan Yogyakarta. Penulis buku *Kuliah Keistimewaan Yogya*, Dr. Haryadi Baskoro, M.Hum., menjelaskan bahwa program ini bertujuan mengintegrasikan wawasan keistimewaan DIY ke dalam bahan ajar perguruan tinggi.
“Melalui pemahaman sejarah dan nilai-nilai keistimewaan DIY, mahasiswa diharapkan mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah sekaligus menjaga keutuhan NKRI,” kata Haryadi.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY juga menekankan peran strategis Yogyakarta sebagai pusat pendidikan. “Ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia berkumpul di sini. Ini momentum untuk menanamkan wawasan kebangsaan melalui literasi budaya,” tuturnya.
Dalam paparannya, Prof. Djagal menguraikan bahwa ketahanan nasional Indonesia masih berada di kategori “kurang tangguh.” Gatra ideologi dan sosial budaya, misalnya, sering terganggu oleh isu intoleransi, korupsi, dan benturan antara agama dan Pancasila.
“Jika warga Yogyakarta konsisten menjunjung nilai keistimewaan DIY dan NKRI, gerakan disintegrasi akan melemah. Ketahanan nasional pun dapat meningkat dari warna kuning menjadi hijau,” tambahnya.
Ia juga menyerukan sinergi antara Keraton, Kadipaten Pakualaman, dan stakeholder lain untuk memperkuat regulasi, intelijen, serta infrastruktur. Menurutnya, penguatan sistem ini akan memastikan Yogyakarta tetap menjadi pilar ketahanan nasional yang kokoh.
Diskusi ini diakhiri dengan harapan agar kolaborasi lintas sektor dapat menghasilkan kebijakan yang konkret untuk menjaga keutuhan NKRI, sekaligus melestarikan keistimewaan Yogyakarta sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.