Opini : Jubir Sejatinya dari Komunikolog

Jakarta, Rakyat45.com – Mengapa Jubir harus dari komunikolog? Di seluruh perguruan tinggi di dunia, ilmu komunikasi telah menjadi kajian serius dan mendalam serta merupakan program studi tersendiri, seperti kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya.

Karena itu, komunikasi sudah suatu kelompok ilmu mandiri yang “melahirkan” berbagai profesi di bidang komunikasi.

Sama dengan spesialis di bidang kedokteran, ilmu komunikasi memiliki berbagai profesi, seperti jurnalis, retoris, jubir, lobis, propagandis, dan sebagainya.

Jadi, seorang profesional yang handal di bidangnya “lahir” dari satu kelompok ilmu. Bukan dari kelompok ilmu lain yang tidak relevan. Dokter spesialis kebidanan harus dari induk disiplin ilmu kodokteran, tidak berada dalam kelompok ilmu fisika murni, misalnya.

Analoginya sederhana. Orang yang berlatar belakang dokter dipastikan lebih kompoten dan profesional mengelola (manajemen) kesehatan daripada seorang sarjana biologi.

Orang yang berlatar belakang hukum dipastikan lebih kompoten dan profesional mengelola (manajemen) perkara daripada seorang sarjana teknik.

Orang yang berlatar belakang ekonom dipastikan lebih kompoten dan profesional mengelola (manajemen) keuangan daripada seorang sarjana komunikasi.

Untuk memperkuat analogi di atas, Jubir sebagai profesi merupakan turunan public relations. Sementara public relations, turunan dari ilmu komunikasi.

Karena itu, seorang jubir handal dan profesional harus menguasai konsep, teori, etika dan filsafat komunikasi. Jika tidak menguasai, Jubir akan kewalahan mengelola komunikasi secara komprihenship dan strategis.

Akibatnya, Jubir hanya sepert “media” penyampai pesan semata yang acapkali dibaur dengan lambang komunikasi non verbal yang dimilikinya yang kadang tidak relevan dengan konteks komunikasi saat itu. Tindakan komunikasinya pun cenderung ibarat “pemadam kebakaran”, sekedar mengkaunter isu-isu miring, yang pasti tidak efektif.

Karena itu, tempatkanlah orang sesuai kompetensi akademiknya agar lebih optimal dan profesional. Jubir sejatinya dari komunikolog. Kepada mahasiswa komunikasi saya katakan, sebagai seorang yang kompeten dan profesional di bidang komunikasi, harus berani menolak jabatan yang bukan salah satu profesi komunikasi.

Di kementerian kita, sebagai beberapa contoh, masih banyak kepala biro komunikasi dan informasi dijabat oleh yang bukan dari komunikolog. Sementara sarjana, magister dan doktor komunikasi yang berstatus PNS sudah banyak. Realitas ini sangat-sangat kita sayangkan.

Editor : Indra