Harapan Pasien Kanker Paru, Deteksi Dini Imunohistokimia di RSUP Persahabatan Dibiayai BPJS?

Rakyat45.com – Tingginya jumlah perokok di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah angka kesakitan kanker paru. Data dari Kementerian Kesehatan RI, setiap tahun ada 34 ribu orang terdiagnosis kanker paru, 88 persen di antaranya tercatat meninggal dunia.

Besarnya jumlah kasus tersebut membuat kanker paru menduduki peringkat ketiga penyakit tidak menular di Indonesia. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan peningkatan pemahaman dan aksesibilitas masyarakat untuk melakukan skrining berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru, menurunkan jumlah kasus kematian, dan beban pembiayaan kanker.

“Kami secara aktif melakukan transformasi sistem kesehatan, salah satunya dengan mendorong upaya deteksi dini secara berkesinambungan. Selain meningkatkan kualitas hidup pasien, upaya ini juga akan memudahkan identifikasi pengobatan yang tepat, sehingga beban pembiayaan perawatan kesehatan dapat terus dikendalikan,” kata Nadia dalam diskusi media bersama Roche di Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Menurut Nadia, masyarakat sebenarnya sudah semakin sadar akan pentingnya deteksi dini kanker paru. Deteksi dini dianjurkan bagi orang yang aktif merokok, perokok pasif, baru saja berhenti merokok kurang dari 15 tahun, dan memiliki riwayat kanker paru dalam keluarga.

Seiring dengan perkembangan teknologi kesehatan, deteksi dini kanker paru terbaru dapat dilakukan dengan metode imunohistokimia (IHK). Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Persahabatan, dr Erlang Samoedro, SpP(K), menjelaskan bahwa pemeriksaan molekuler dengan PCR untuk deteksi mutasi gen. Sedangkan pemeriksaan dengan metode IHK berguna untuk melihat ekspresi protein sehingga dapat membantu dalam memilih terapi lanjutan yang tepat.

RSUP Persahabatan bekerja sama dengan Roche Indonesia telah menyediakan pemeriksaan ALK dan PD-L1 dengan metode IHK secara gratis atau ditanggung BPJS.

“Saat ini kami telah melayani 30-50 pemeriksaan dalam sebulan. Tentunya pemeriksaan ini dapat membantu pasien untuk mendapatkan diagnosis yang terstandarisasi sehingga penanganan lebih cepat dan tepat,” ujar dokter Erlang.

Ia menambahkan, 90 persen pasien kanker paru baru datang ke dokter setelah memasuki stadium lanjut. Hal ini menyebabkan keterlambatan penanganan kanker dan meningkatkan risiko kematian pada pasien. Namun, dengan adanya pemeriksaan molekuler ini, diharapkan terapi yang dipilih akan lebih optimal.

“Sesuai dengan pedoman penatalaksanaan nasional, pemeriksaan molekuler standar yang harus dilakukan adalah EGFR, ALK, PD-L1 dan ROS-1 untuk KPKBSK karena kanker paru tidak bersifat small cell,” tambah Erlang.

Pakar Onkologi Toraks RSUP Persahabatan Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P(K), menambahkan, saat ini baru pemeriksaan EGFR yang sudah dijamin oleh BPJS Kesehatan, namun terbatas pada jenis sel tertentu. Sedangkan pemeriksaan lain seperti ALK, PD-L1, ROS-1 belum dijamin.

Angka positif EGFR di Indonesia berkisar antara 45-50 persen, di mana masih ada sekitar 50 persen pasien BPJS yang belum teridentifikasi mutasinya sehingga kelompok tersebut belum mendapatkan terapi yang sesuai.

Elisna mengatakan bahwa terapi untuk pasien kanker paru haruslah spesifik. Dengan demikian, terapi setiap pasien bisa berbeda.

“Tentu saja hal ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien. Namun, juga berdampak pada efisiensi biaya pelayanan kesehatan kanker paru di BPJS,” kata Prof.