Jakarta, Rakyat45 – Pada Senin, kualitas udara di DKI Jakarta berada dalam kategori tidak sehat, menempatkannya sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ketiga di dunia berdasarkan data dari situs pemantau kualitas udara, IQAir.
Menurut data yang diakses di laman resmi IQAir pada Sabtu pukul 05.15 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta tercatat di angka 176. Angka ini mencerminkan konsentrasi partikel halus (PM2.5) sebesar 91 mikrogram per meter kubik, yang 18,2 kali lipat lebih tinggi dari panduan kualitas udara tahunan yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
IQAir melaporkan bahwa Jakarta berada di peringkat ketiga dalam daftar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, setelah Kairo, Mesir (AQI 177) dan Lahore, Pakistan (AQI 176). Posisi berikutnya ditempati oleh Delhi, India (AQI 175) dan Kinshasa, Kongo (AQI 165). Semua kota tersebut dikategorikan memiliki kualitas udara yang tidak sehat.
Selain Jakarta, beberapa kota besar lainnya di Indonesia juga masuk dalam kategori kualitas udara tidak sehat, termasuk Tangerang Selatan (Banten) dengan AQI 201, Bandung (Jawa Barat) dengan AQI 139, dan Surabaya (Jawa Timur) dengan AQI 138.
Masyarakat disarankan untuk menghindari aktivitas di luar ruangan, mengenakan masker saat keluar rumah, menutup jendela untuk mencegah masuknya udara kotor dari luar, serta menggunakan penyaring udara di dalam ruangan.
Sistem Informasi Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa kualitas udara di Jakarta untuk polusi PM2.5 berada dalam kategori sedang. Data dari lima lokasi pemantauan menunjukkan nilai AQI di Kelapa Gading (92), Kebon Jeruk (99), Bundaran HI (95), dan Jagakarsa (72).
Kategori sedang berarti kualitas udara tidak berpengaruh signifikan terhadap kesehatan manusia atau hewan, namun bisa berdampak pada tumbuhan yang sensitif. Sementara kategori tidak sehat menunjukkan kualitas udara yang dapat merugikan kesehatan manusia, terutama kelompok sensitif, serta merusak tumbuhan dan nilai estetika lingkungan.
BMKG sebelumnya mengungkapkan bahwa Jakarta memasuki musim kemarau pada Mei dan diprediksi mencapai puncaknya pada Juni 2024, yang diperkirakan akan memperburuk kondisi polusi udara. Koordinator Sub Bidang Informatif Gas Rumah Kaca BMKG, Albert Nahas, menyatakan bahwa fenomena iklim global seperti El Nino, La Nina, dan Dipole Mode Positif/Negatif turut mempengaruhi konsentrasi partikel polutan di Indonesia, termasuk Jakarta.
“La Nina mempengaruhi konsentrasi PM2.5 di Indonesia dan menyebabkan perbedaan konsentrasi antara wilayah timur dan barat Indonesia. Konsentrasi PM2.5 cenderung lebih tinggi pada malam hingga pagi hari dan lebih rendah pada siang hari,” ujar Albert.
Fenomena iklim global ini, menurut Albert, dapat mempengaruhi iklim di Indonesia dan berkontribusi pada perubahan konsentrasi PM2.5, yang berdampak pada kualitas udara di Jakarta.(Antara)