Opini

Rasa Malas Bukan Musuhmu, Tapi Pesan dari Dirimu Sendiri

48
×

Rasa Malas Bukan Musuhmu, Tapi Pesan dari Dirimu Sendiri

Sebarkan artikel ini
Rasa Malas Bukan Musuhmu, Tapi Pesan dari Dirimu Sendiri
Ilustrasi lawan diri sendiri. (R45/INDRA)

Oleh: Indra

RAKYAT45.COM – Zaman yang menuntut kecepatan, dan produktivitas tanpa henti, rasa malas sering diperlakukan sebagai dosa sosial. Ia dianggap musuh utama kemajuan tanda kelemahan, kebodohan, bahkan kemunduran moral.

Namun barangkali, kita terlalu cepat menghakimi. Sebab bisa jadi, rasa malas bukanlah lawan yang harus diperangi, melainkan pesan lembut dari dalam diri sebuah panggilan untuk berhenti sejenak, mendengarkan, dan menata ulang arah hidup.

Rasa malas tidak selalu berarti enggan berbuat. Ia sering kali menjadi bentuk perlawanan halus tubuh dan pikiran terhadap kehidupan yang kehilangan makna. Ia muncul ketika langkah kita menjauh dari tujuan sejati, ketika energi terkuras untuk sesuatu yang tak lagi memberi arti. Dalam diamnya, rasa malas berbisik, “Ada yang salah dengan arahmu.”

Sayangnya, manusia modern lebih pandai menghukum diri daripada memahami dirinya. Kita marah karena merasa kurang produktif, padahal yang sebenarnya terjadi, kita hanya kehilangan koneksi dengan makna. Sebab sesungguhnya, rasa malas bukan persoalan kemampuan, melainkan kehilangan arah dan makna.

Ketika seseorang memiliki alasan besar yang menggetarkan hati, motivasi akan datang tanpa diminta. Sebaliknya, ketika tujuan hidup hanya sebatas ingin terlihat sibuk atau tidak mau kalah dari orang lain, semangat itu cepat padam. Kita terbiasa menuntut diri untuk terus berlari tanpa pernah bertanya ke mana arah larinya. Akibatnya, kita kelelahan bukan karena jarak, melainkan karena kehilangan alasan.

Mungkin yang kita butuhkan bukan motivasi baru, tetapi keberanian untuk menulis ulang alasan lama. Cobalah bertanya pada diri sendiri: “Apa hal besar yang membuatku tak bisa lagi diam?” Begitu jawaban itu ditemukan, energi akan kembali mengalir. Rasa malas berhenti menjadi beban, dan mulai menjadi bahan bakar untuk tumbuh.

Sayangnya, banyak orang masih menunggu datangnya “mood baik” sebelum bergerak. Padahal semangat adalah tamu yang datang dan pergi sesuka hati. Orang yang berhasil tidak menunggu suasana hati yang sempurna, mereka membangun sistem yang menopang disiplin.

Disiplin adalah jembatan antara niat dan hasil. Ia bukan tentang kerja keras tanpa henti, melainkan kebiasaan kecil yang dijalankan secara konsisten. Menulis satu halaman setiap pagi, berjalan sepuluh menit setiap sore, atau belajar lima belas menit setiap hari langkah sederhana yang jika diulang, akan membentuk keajaiban. Ketika kebiasaan terbentuk, rasa malas kehilangan pijakan. Kita bergerak bukan karena tekanan, melainkan karena ritme hidup yang sudah terlatih.

Namun perlu diingat, menunda pekerjaan bukanlah bentuk istirahat, melainkan beban mental yang diam-diam menguras energi. Setiap tugas yang tertunda menjadi bayangan yang mengikuti ke mana pun kita pergi, menambah “tabungan stres” di kepala. Istirahat sejati adalah jeda yang menyegarkan, sementara pelarian hanyalah kabur dari tanggung jawab.

Yang pertama menumbuhkan kesadaran, yang kedua mengaburkannya. Karena itu, berhentilah sejenak bila perlu, tapi pastikan kita kembali dengan pandangan yang lebih jernih dan hati yang lebih tenang.

Di balik rasa malas, sering kali tersembunyi rasa takut gagal, takut dinilai, atau takut kecewa pada diri sendiri. Banyak orang diam bukan karena tak mau bergerak, melainkan karena khawatir langkahnya akan salah. Padahal hidup tidak menuntut kita untuk selalu benar, melainkan berani mencoba. Sebab keberanian untuk memulai sering kali jauh lebih penting daripada hasil akhir yang sempurna.

Akhirnya, rasa malas tidak perlu dimusuhi. Ia justru bisa menjadi pesan yang menuntun kita kembali ke pusat diri. Daripada terus merasa bersalah, lebih baik kita bertanya: “Bagian mana dari hidupku yang sudah tidak sejalan dengan tujuanku?”

Mungkin yang kita butuhkan bukan semangat baru, melainkan kejujuran untuk mengakui bahwa kita sedang lelah atau kehilangan arah. Sebab di titik kelelahan itu, perubahan sejati sering kali berawal.

Memahami rasa malas bukanlah tanda menyerah pada kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk mengenal diri lebih dalam. Karena sejatinya, rasa malas bukan akhir dari perjalanan, “ia hanyalah tanda bahwa sudah waktunya kita menyetir ulang arah. Bukan untuk menjadi orang lain, tapi untuk kembali pada versi terbaik dari diri kita sendiri.

Penulis; Indra Kabiro adalah penulis lepas dan pemerhati isu sosial dari Bengkalis.***

Informasi lebih lengkap tentang prinsip editorial kami bisa dibaca di Kebijakan Redaksi.